Perlindungan Hukum terhadap Cap Tikus
Budaya turun temurun minum Cap Tikus di Minahasa | Foto via Tanda Seru |
Minum satu sloki cuci darah, satu grem tambah darah, satu gelas naik darah, satu botol tumpah darah, satu jerigen abis darah
Advokatmanado.com-Kasus pembunuhan di Sulut (Sulawesi Utara) cukup menarik diulas. Memang trend kasusnya turun. Namun yang menarik adalah minuman keras dianggap sebagai pemicu keributan yang menyebabkan kematian.
Pada 2019 Sulut masuk tujuh besar provinsi dengan kasus pembunuhan tertinggi di nasional, berikut datanya kami kutip dari BPS (Badan Pusat Statistik):
1. Sumatera Selatan 136 kasus
2. Sumatera Utara 104 kasus
3. Jawa Timur 65 kasus
4. Nusa Tenggara Timur 62 kasus
5. Papua 52 kasus
6. Sulawesi Selatan 50 kasus
7. Sulawesi Utara 50 kasus.
Selanjutnya pada 2020 naik menjadi 24 kasus di Sulut, dan masuk ke-tiga besar dalam kasus pembunuhan tertinggi di nasional:
1. Sumatera Utara 99 kasus
2. Sumatera Selatan 77 kasus
3. Sulawesi Utara 74 kasus
Jenis kejahatan tertinggi adalah kejahatan fisik/badan sebanyak 2.883 kasus sebagaimana dilaporkan Polisi Daerah (Polda) Sulut. Pelakunya didominasi laki-laki dibandingkan perempuan, presentasinya 95 persen.
Memang pada 2021 trennya menurun, kasus pembunuhan di Sulut menjadi 26 kasus, tulis Liputan6.com.
Pada laporan Sulut.Inews.id, Kapolda Sulut Irjen Pol Nana Sudjana mengatakan berdasarkan data yang ada sejak Januari hingga April 2021, terjadi penganiayaan 326 kasus. Sebanyak 180 kasus disebabkan konsumsi Miras. Sementara yang lain, enam kasus pembunuhan, empat kasus di antaranya karena mabuk.
Dalam laporan BPS total penduduk Sulut pada Agustus 2021 berdasarkan hasil proyeksi penduduk Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 diperkirakan sebanyak 2,5 juta orang.
Cap Tikus dianggap biang kerok dari segala kejahatan yang terjadi di Sulut. Peredaran Cap Tikus dilarang dan pengedarnya ditangkap. Alhasil berdampak pada mata pencarian petani Cap Tikus, dalam catatan Tempo.co, bahkan dulu pada 2003 sekitar 10 ribu petani Cap Tikus unjuk rasa di Polda Sulut. Cap tikus bagi mereka adalah sumber kehidupan, dari sana pula mereka makan, menyekolahkan anak, dan bertahan hidup.
Maret 2022 lalu, Aliansi Cap Tikus menggelar unjuk rasa di Polres (Kepolisian Resort) Minahasa Selatan. Mereka yang tergabung dari berbagai elemen masyarakat menuntut agar kepolisian tidak mengkriminalisasikan minuman tradisional tersebut. Aksi itu sempat ricuh karena pihak kepolisian melarang mereka merengsek masuk ke halaman Polres. Beberapa anggota aksi massa ditangkap, tetapi beberapa waktu kemudian dikeluarkan lagi setelah koordinator bernegosiasi dan dijumpai Kapolres AKBP Bambang Herleyanto S.IK.
Dipaparkan Psychologymania.com, Berkowitz mengutip Krahe mengemukakan bahwa membunuh seseorang yang asing dan membunuh seseorang yang sudah dikenal memiliki dinamika dan motif dasar berbeda. Pembunuhan yang terjadi di antara orang-orang yang saling mengenal sering kali muncul dari pertikaian yang berjalan di luar kendali akibat pengaruh respon-respon efektif yang kuat, dan sering kali diperberat oleh alkohol.
Liputan6.com menuliskan, Penelitian di Inggris juga pernah membuktikan bahwa alkohol menjadi ‘barang’ yang paling berpotensi membahayakan keselamatan publik. Alasannya sangat bervariasi, mulai kejahatan seperti kasus tabrak lari, perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, kerusakan lingkungan, konflik keluarga, bahkan sampai kerusakan internasional.
Harjanti Setyo Rini dalam jurnalnya mengutip Wresniwirro menjelaskan bahwa dalam alkohol di minuman keras, mengandung suatu zat tertentu yaitu kadar etanol lebih dari 1-55 persen, bila dikonsumsi secara berlebihan (>100 mg/dl) dapat membuat alam perasaan seseorang menjadi berubah, mudah tersinggung, dan perhatian terhadap lingkungan terganggu. Juga dapat mengganggu koordinasi motorik. Orang yang mengalami gangguan kendali koordinasi motorik dapat berbuat apa saja tanpa sadar.
Di tengah hiruk pikuk alkohol pemicu kriminal, berbeda dengan Kriminolog sekaligus Direktur Eksekutif Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Edi Hasibuan. Sebagaimana ditulis Wowkeren.com
Dia tidak setuju jika angka kriminalitas yang tinggi dikaitkan dengan konsumsi alkohol. Menurut Edi tingginya angka kriminalitas di sejumlah wilayah Indonesia lebih disebabkan karena masalah ekonomi. Tuntutan ekonomi yang tidak dibarengi kemampuan memenuhi kebutuhan yang memadai inilah yang mendorong pelaku kejahatan untuk berbuat kriminal.
Hal itu juga disampaikan Dr Anne Fox spesialisasi dalam studi budaya minum di negara-negara seluruh dunia sejak 1995. “Alkohol seperti dibahas semua literatur ilmiah, yang telah kami kaji secara luas dalam laporan, tidak dapat dianggap sebagai penyebab kekerasan. Jika memang ia, kita akan melihat tingkat kekerasan yang sama di antara semua peminum,” ujar Dr Anne, sebagaimana di laman Republika.co.id.
Negara seperti Islandia mengkonsumsi alkohol lebih banyak dari Australia, tetapi jumlah kekerasan yang terjadi di sana lebih sedikit. “Mereka memiliki budaya minum yang kuat, mereka memiliki bar 24 jam, mereka bahkan memiliki tingkat kepemilikan senjata tinggi. Namun di Islandia, hampir tidak ada kekerasan yang tercatat,” kata Dr. Anne.
Baca juga:
Mengalami Kekerasan Seksual, 7 Hal Ini yang Harus Diperhatikan
Sulawesi Utara (Manado) Darurat Kekerasan Seksual terhadap Anak
Banyak yang Belum Tahu, Ini Peran Penting Paralegal dalam Pengadvokasian
Fenomena Cap Tikus
Minuman alkohol Cap Tikus | Foto via Manado Post |
Dalam jurnal yang ditulis Melky Lungan, dia menuliskan Minuman Cap Tikus berperan penting bagi masyarakat Minahasa. Vallenhoven, sebagaimana tertulis di Adatrectbudles tahun 1917, mengatakan minuman keras tradisional ini telah menyelamatkan orang Minahasa dari ketergantungan candu dan opium pada abad 18. Karena orang Minahasa sangat mencintai minuman Saguer dan Cap Tikus, maka orang Minahasa sudah tidak tertarik lagi dengan candu dan opium, walaupun harganya cukup murah.
Sebagian orang desa sebelum makan lebih dahulu minum Cap Tikus dengan alasan agar bisa makan banyak. Minuman itu sudah dikenal sejak lama di tanah Minahasa, tetapi tidak ada catatan pastinya kapan Cap tikus mulai hadir dalam khazanah budaya Minahasa. Namun, setiap warga Minahasa ketika bicara tentang Cap Tikus akan menunjukkan bahwa minuman itu dikenal sejak nenek moyang mereka.
Di Desa Lobu Atas, Kec. Touluaan, Kab. Minahasa Tenggara, pohon aren (seho) merupakan sumber ekonomi. Kemampuan membuat Cap Tikus telah diturunkan dari generasi ke generasi, tetapi dengan tingkat teknologi yang hampir tidak berkembang. Sebagai sumber ekonomi, seho telah menyumbangkan komponen dari seluruh sistem kebudayaan masyarakatnya.
Lebih lanjut jurnal itu menguraikan, sebagian petani seho ada yang mengelola pohon seho milik orang lain, dengan sistem bagi hasil. Pola bagi hasil yang umum adalah tiga bagian untuk penyadap dan dua bagian untuk pemilik pohon. Berkembangnya sistem bagi hasil dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk kekayaan budaya karena sistem tradisional hanya dapat berkembang bila dalam masyarakat tersebut terdapat nilai-nilai kerjasama, saling berbagi dan kebersamaan.
Kompas.id menjabarkan bagaimana Cap Tikus dari proses pembuatan sampai dampaknya. Cap tikus tersohor di seantero Nusantara karena kadar alkoholnya yang tinggi, rata-rata di atas 40 persen. Minuman yang diproduksi secara kerakyatan di Minahasa ini adalah hasil penyulingan getah tandan bunga pohon enau atau aren (Arenga Pinnata) alias Seho dalam bahasa Melayu Manado. Minuman ini pun menjadi kebanggaan masyarakat Sulut, utamanya di kawasan Minahasa Raya.
Namun ironisnya, Cap Tikus hampir selalu ada dalam berbagai kasus kriminal di Sulut dari yang sepele sampai yang fatal. Mei 2021, Direktur Reserse Narkoba Polda Sulut Kombes Indra Lutrianto Amstono mengatakan, ada 362 kasus penganiayaan sepanjang Januari-2021. Sebanyak 190 di antaranya dipicu oleh Miras.
Pola ini tak berubah di Sulut sejak 18 tahun lalu. Dalam catatan Kompas, 27 Februari 2003 bahwa lebih dari 50 persen tindak pidana kriminal di Sulut terjadi gara-gara pelakunya lebih dulu menenggak Cap Tikus.
Menurut Antropolog Universitas Sam Ratulangi Nasrun Sandiah Cap tikus adalah bagian dari produk budaya Minahasa. Ia dikonsumsi dalam berbagai acara syukuran atau duka, juga upacara adat. Menekan kandungan alkoholnya bisa jadi sama dengan menghilangkan ciri ke-Minahasa-annya.
Saking fenomenalnya minuman cap tikus ini muncul peribahasa “Minum satu sloki cuci darah, satu grem tambah darah, satu gelas naik darah, satu botol tumpah darah, satu jerigen abis darah” tulis Melky Lungan dalam jurnal berjudul Kehidupan pengrajin Cap Tikus di Desa Lobu Atas Kecamatan Touluaan Kabupaten Minahasa Tenggara.
Pro kontra terkait peredaran minuman Cap Tikus ini mulai menampakkan titik terang.
Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) tentang Cap Tikus mulai disusun oleh Ketua Badan Kehormatan DPRD Sulut Sandra Rondonuwu bersama Sekretaris DPRD, Tim Ahli Danny Pinasang, Noldy selaku petani cap tikus. Rapat itu juga dihadiri Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Haris Sukanto dan Kanwil Kemenkumham Sulut Kepala Bidang Hukum Franky A.H. Zachawerus dan Arther Moniung selaku perancang peraturan perundang-undangan ahli Madya.
Petani Cap Tikus menggunakan hak politik mengajukan inisiatif raperda Cap Tikus sebagai produk kearifan lokal Sulut, sama seperti arak Bali, soju di Korea, Sake di Jepang, dan lain-lain.
Rapat itu menyepakati akan studi banding ke Bali dengan mencari tahu pemberlakuan minuman Brem Bali yang dijual bebas. Sehingga nantinya dalam Raperda akan dipastikan pengaturannya apakah mengatur minuman beralkohol atau minuman beralkohol tradisional, sebagaimana tertulis di laman Kemenkumham Sulut.
Infografis pembunuhan di Sulawesi Utara | Asmara Dewo/Advokatmanado.com |
Penulis: Asmara Dewo, Konsultan Hukum
Note: Judul ini telah diubah, sebelumnya "Si Biang Kerok Cap Tikus "
Posting Komentar untuk "Perlindungan Hukum terhadap Cap Tikus "