Sulawesi Utara (Manado) Darurat Kekerasan Seksual terhadap Anak
Ilustrasi kekerasan seksual pada anak | Foto Rodnae Productions/Pexels.com |
Darurat kekerasan seksual di Sulawesi Utara, khususnya Manado sudah sangat meresahkan. Korban kekerasan seksual bukan terhadap orang dewasa saja, tapi juga ana-anak. Seakan tidak ada efek jera bagi pelaku, kekerasan seksual (cabul) berulang kali terjadi.
Sudah semestinya para penegak hukum, pihak eksekutif, dan legislatif punya solusi jitu dalam menyelesaikan persoalan serius terhadap generasi bangsa.
Laporan Unicef 2020 lalu tentang “Anak Indonesia” menemukan bahwa 62 persen anak perempuan dan lelaki mengalami satu atau lebih dari satu bentuk kekerasan sepanjang hidupnya. Survei itu juga menemukan bahwa satu dari 11 anak perempuan dan satu dari 17 anak lelaki mengalami kekerasan seksual.
Unicef 2020 mengungkapkan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia | Asmara Dewo/Advokat Manado
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Pupayoga menyebutkan pada 2021 kekerasan seksual kepada anak-anak mencapai 7.004 kasus. Bintang juga mengatakan kasus kekerasan seksual merupakan fenomena gunung es, karena banyak kasus yang tidak dilaporkan. Kondisi itu membuktikan bahwa permasalahan yang terjadi sebenarnya lebih kompleks daripada yang terlihat di permukaan, sebagaimana ditulis Infoanggaran.com,
Januari 2022 lalu, Bintang sempat berkunjung ke Desa Senduk, Kec. Tombariri, Kab. Minahasa, Sulawesi Utara. Kedatangannya bukan tanpa sebab, Bintang mengunjungi makam korban kekerasan seksual terhadap anak berinisial CT yang berumur 10 tahun.
Korban awalnya sempat dibawa ke RSUP Prof. Kondou Manado, hasil visum et repertum menyatakan memang selaput darah korban robek. Selain itu ternyata korban juga punya sakit bawaan, yaitu leukimia.
Dalam catatan BPS (Badan Pusat Statistik) yang dituliskan Aris Mohamad Ghaffar Binol dkk di e-jurnal Unsrat (Universitas Sam Ratulangi) 2020, terjadi peningkatan laporan kasus pedofil dari 10 kasus pada 2016 menjadi 13 kasus pada 2017. 11 kasus di luar laporan dari wali korban, total kasus pedofilia yang ditangani Polresta (Kepolisian Resort Kota) Manado pada 2017 sebanyak 33 kasus.
Mereka juga menambahkan pada 2019 Polresta Manado mencatat 43 kasus pencabulan yang ditangani. Sedangkan rentang waktu 2019 P2TPA Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Pemenuhan Anak Manado menangani 10 kasus pencabulan.
Mengutip Sulutaktual.com, pada 2020 Polda (Polisi Daerah) Sulut menerima laporan kekerasan seksual pada anak (cabul) sebanyak 331 kasus. Setahun berikutnya memang kasus pencabulan di Sulut turun, pada 2021 sebanyak 271 kasus yang diterima Polda Sulut.
Sedangkan pada 2022 sebanyak 34 kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi, data itu terhitung sejak Januari hingga 26 Juli 2022, sebagaimana yang dilaporkan Beritamanado.com.
50 persen narapidana di Sulut terlibat kasus tindak pidana kekerasan seksual | Asmara Dewo/Advokat Manado |
Kekhawatiran ini juga dirasakan oleh Wakil Gubernur Sulut Steven Kandou yang membandingkan 50 persen narapidana di Sulut terlibat kasus tindak pidana kekerasan seksual. Di Jawa 60 persen narapidana tindak pidana narkotika. Dia juga mengatakan permasalahan kekerasan seksual pada anak ini seperti gunung es.
Jauh sebelumnya, kasus kekerasan seksual terhadap anak juga menjadi perhatian serius bagi PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa), karena itu pula berbagai negara di dunia pada 1989 meratifikasi Konvensi PBB untuk Hak-Hak Anak, tak terkecuali Indonesia. Konvensi itu mengatur agar anak-anak di seluruh dunia dapat tumbuh sehat, bisa bersekolah, dilindungi, didengar pendapatnya, dan diperlakukan dengan adil.
Dalam Pasal 34 Konvensi Anak ditegaskan “Tiap anak berhak dilindungi dari eksploitasi dan penganiayaan seksual, termasuk prostitusi dan keterlibatan dalam pornografi”.
Negara juga menjamin perlindungan anak, karena itu pula dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
Kemudian dalam Pasal 21 ayat 1 “Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati pemenuhan hak anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau mental.”
Dan Pasal 54 ayat 1 ditegaskan lagi “Anak di dalam dan lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga pendidik, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
Maka, jika lingkungan anak-anak masih berkeliaran predator seksual, itu artinya negara membiarkan kesejahteraan anak-anak direnggut.
Jadi Bagaimana?
1. Penegakan Hukum yang Tegas
Jelas pertama yang disinggung adalah hukuman sebagai efek jera bagi pelaku. Dan tentunya itu merupakan keadilan yang diinginkan oleh korban dan masyarakat luas. Karena selama ini begitu banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak. Ini berbahaya sekali, sebagai petunjuk pula bagi kita bahwa tidak ada efek jera bagi orang lain.
Dalam penyelesaian perkara ini juga melibatkan berbagai pihak, baik yang telah diamanahkan dalam undang-undang, maupun masyarakat luas.
Aktivis Jull Takaliuang mengatakan banyaknya laporan kekerasan seksual tidak semua bisa dituntaskan oleh pihak kepolisian. Menurut dia di desa-desa pelosok kepulauan, laporan masyarakat kerap kali berakhir damai.
“Semakin jauh (desa) terpelosok, korban akan semakin jauh dari akses layanan penegakan hukum yang memadai. Masyarakat tidak terlalu paham, datang ke kepolisian malah mendapatkan layanan yang tidak berkeadilan bagi mereka. Kepolisian kadang malah menjadi mediator untuk damai. Akhirnya pelaku masih bebas berkeliaran,” katanya, seperti yang ditulis Sulutaktual.com.
2. Sanksi terhadap APH atau Pejabat Pemerintah
Tidak hanya pelaku yang diberikan hukuman, sanksi semestinya diberikan terhadap APH atau pejabat pemerintah lain yang sudah diberikan amanah menjalankan tugasnya. Sering pula kerja-kerja yang belum optimal dalam penyelesaian kasus. Dan tidak punya solusi yang tepat dalam pencegahan kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Sebagaimana yang sudah disampaikan di atas tadi, Pasal 21 ayat 1 No. 23/2022, negara bertanggung jawab atas perlindungan terhadap anak. Sedangkan APH sesuai dengan peraturan kode etiknya.
3. Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat dalam memonitor kasus kekerasan terhadap anak sangat dibutuhkan. Sebagai lokomotif untuk mendorong penegakan hukum yang tegas. Tak kalah penting pula memberikan saran, kritik, juga mengingatkan APH dan pejabat pemerintah yang bekerjanya belum maksimal.
Masyarakat juga lebih sadar betapa bahayanya kasus kekerasan seksual terhadap anak, karena menyangkut soal masa depan korban. Dan pastinya masa depan generasi Sulut. Jadi mau tak mau, suka tak suka, dihadang atau dilarang, masyarakat Sulut berhak menyelamatkan anak-anak mereka, adik-adik mereka, dan buah hatinya.
4. Memastikan Lingkungan Aman
Ini tantangan yang cukup sulit, karena pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat. Untuk memahaminya lebih lanjut bisa baca artikel ini Mengalami Kekerasan Seksual, 7 Hal Ini yang Harus Diperhatikan.
Namun, kita juga berupaya semaksimal mungkin menghindari itu semua dengan:
a. memastikan keamanan dan kenyamanan bagi anak di tengah keluarga. Keluarga adalah orang terdekat bagi anak. Bila kita curiga pada anggota keluarga yang punya kelainan seksual, lebih baik anggota keluarga itu tidak tinggal dalam satu atap. Mungkin tinggal di rumah lain.
b. selalu memantau anak ketika beraksi dengan anggota keluarga lainnya, atau orang lain di rumah, seperti Asisten Rumah Tangga (ART), tukang kebun, atau sopir. Interaksi anak perlu dibatasi, dan tidak sepenuhnya percaya pada orang-orang di rumah. Tidak membiarkan anak sendiri dengan mereka dalam waktu yang lama.
c. memantau anak di lingkungan sekolah. Sejak awal didaftarkan sekolah, orang tua atau wali sudah mengetahui bagaimana sekolah tersebut. Apakah punya jejak rekam yang buruk? Apakah ada guru atau staf yang pernah melakukan seksual dan sampai saat ini masih berkeliaran di sana. Jika iya, tentu itu sekolah yang tidak direkomendasikan.
Perlu pula memantau anak dengan siapa saja berinteraksi di sekolahnya. Selalu berdiskusi perkembangan belajarnya dan orang-orang yang berinteraksi dengannya.
d. memantau anak juga dengan siapa bermain di sekitar rumah. Apakah bermain dengan sebayangnya atau malah bermain dengan orang yang lebih tua darinya.
3. Penyuluhan Bahaya Kekerasan Seksual
Penyuluhan bahaya kekerasan seksual di tengah masyarakat sangat penting. Banyak yang belum paham terkait kekerasan seksual, sehingga orang tua lengah. Penyuluhan ini tentunya harus dikerjakan secara maksimal oleh pemerintah daerah.
OBH (Organisasi Bantuan Hukum) juga bisa membentuk Paralegal yang konsentrasi dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Paralegal ini pula nantinya sebagai kaki tangan OBH dalam pengadvokasian. Untuk mengetahui lebih banyak tentang Paralegal bisa baca Banyak yang Belum Tahu, Ini Peran Penting Paralegal dalam Pengadvokasian
4. Memberikan Pemahaman terhadap Anak
Selain membentengi anak dari faktor eksternal, dari internal anak itu sendiri juga sangat penting. Anak sejak dini juga sudah diberikan pemahaman, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dipegang organ intimnya oleh orang lain. Mengajarkan pula agar tidak mudah percaya pada orang lain, seperti diimingi hadiah, bujuk rayu, dan lain sebagainya.
Poinnya adalah memberikan pemahaman terhadap anak untuk melindungi diri dari orang lain.
Infografis kekerasan pada anak di Sulawesi Utara | Asmara Dewo/Advokatmanado.com |
Penulis: Asmara Dewo, Konsultan Hukum
Posting Komentar untuk " Sulawesi Utara (Manado) Darurat Kekerasan Seksual terhadap Anak"