Hari Tani Nasional 2022 (Masih Perampasan Lahan Pertanian)
Hari Tani Nasional 2022 | Asmara Dewo, Advokat Manado, Canva |
Advokatmanado.com-Sektor pertanian kita masih menyimpan problem serius yang harus kita kritik dan evaluasi bersama. Pada Hari Tani Nasional ini, sebagaimana untuk mengingat bagaimana pada masa Orde Lama telah melahirkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang mana undang-undang tersebut merupakan jembatan menuju kesejahteraan bagi petani.
BPS menyebut rata-rata luas lahan yang dikuasai rumah tangga pertanian menurun dari 1,1 hektare tahun 1963 menjadi 0,8 hektare tahun 2003, dan 0,5 hektare tahun 2018 (Lukman Adam, Kompas 2021). Selanjutnya jumlah rumah tangga petani gurem meningkat dari 5,3 juta rumah tangga pada 1963 menjadi 13,2 juta pada 2003 dan 15,8 juta tahun 2018.
Seiring waktu rezim silih berganti, UUPA ini seperti mati suri, antara ada dan tiada. Tumpang tindih undang-undang juga menjadi penyebab bagaimana lahan pertanian yang semestinya digunakan oleh petani beralih fungsi menjadi lahan untuk pembangunan yang merugikan rakyat kecil. Salah satu contohnya adalah Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum.
Namun acapkali UU Pengadaan Tanah itu digunakan oleh pemerintah untuk membangun proyek-proyek yang sebenarnya belum begitu penting, seperti pembuatan tol. Pertanyaannya apakah tol lebih penting dari sawah? Apakah nasi lebih penting aspal? Rasionalnya cara berpikir manusia secara umum adalah melakukan hal yang urgent terlebih dahulu daripada yang tidak urgent. Sederhananya begitu. Hal itu terjadi pada pembebasan lahan yang begitu masif daerah Pulau Jawa.
Di Yogyakarta sendiri lahan subur pertanian di Temon, Kulonprogo dirampas oleh pemerintah untuk pembangunan YIA (Yogyakarta International Airport). Pemerintah DIY dan Jateng yang diinisiasi oleh Pemerintah Pusat berkolaborasi menciptakan sektor pariwisata yang sama sekali tidak menguntungkan rakyat kecil dan malah menguntungkan para kaum kapitalis. Kita bisa lihat apakah sektor pariwisata itu mampu mendongkrak warga miskin Yogyakarta? Jawabannya kan tidak! Tapi mengapa, lahan pertanian sebagai sumber mata pencarian petani dirampas paksa oleh pemerintah?
Dinas Pertanian DIY pun pernah menyampaikan, alih fungsi lahan pertanian di DIY mencapai 250 hektar per tahun (Ardi Teristi Hardi, Menjauhkan Petani Dari Tengkulak, 2019).
Bahkan lebih kacaunya lagi, di Sulawesi Utara, di sebuah pulau bernama Pulau Sangihe yang seluas 737 kilometer persegi panjang akan dieksploitasi oleh perusahaan tambang mas. Pulau Sangihe itu cukup subur, menghasilkan berbagai hasil pertanian yang mampu menghidupi sebuah keluarga dan menguliahkan anaknya.
Baca juga:
Melimpah Emas di Kepulauan Sangihe, antara Keberkahan dan Kutukan
Hasil panen sayuran masyarakat Sangihe | Asmara Dewo, Advokat Manado |
Perusahaan tambang mas itu merupakan perusahaan patungan, perusahaan Kanada sahamnya 70%, sementara BUMN 30%. Padahal berdasarkan UU, pulau lebih kurang dari 2000 Kilometer persegi panjang tidak boleh dilakukan penambangan.
Memang berkat perjuangan masyarakat PTTUN Jakarta membatalkan izin pertambangan mas di sana. Namun, itu tentu saja buka perjuangan akhir. Masih ada upaya-upaya hukum lainnya yang memberikan ruang perusahaan untuk melanjutkan ambisi eksploitasinya.
Padahal sektor pertanian adalah sektor yang mampu menyelamatkan dari berbagai krisis yang terjadi di Indonesia, misalnya pada krisis 1998, dan beberapa tahun lalu saat pandemi, bahkan sampai saat ini. Sektor pertanian yang menyelamatkan bangsa ini sehingga kita semua masih bisa bertahan. Di mana sektor lain terpuruk, seperti sektor pariwisata yang mengalami penurunan secara drastis pada masa pandemi.
Dalam catatan Lukman Adam di tengah-tengah pandemi Covid-19, justru sektor pertanian telah menjadi penyelamat. Sektor pertanian tumbuh 1,75 persen tahun 2020, padahal pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun 2,07 persen. Triwulan I-2021 secara year on year (atau dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya), sektor pertanian tumbuh 2,95 persen, pada saat pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi 0,74 persen.
Itu pun pemerintah tidak mau belajar bahwa lahan untuk pertanian begitu penting. Sektor Pariwisata ini juga salah satu prioritas pemerintah dalam Proyek Strategis Nasional. Karena itu pula kita tidak asing dengan perampasan lahan pertanian demi proyek tersebut, hal itu bisa dilihat di Desa Wadas, Purworejo. Desa mereka terancam punah karena perbukitan mereka akan dijadikan bahan materil untuk pembangunan Bendungan Bener, yang sejatinya pembangunan yang tidak bener.
Di daerah lain, di Sulawesi Utara, tepatnya di Desa Pulisan, Kecamatan Likupang Timur, Kabupaten Minahasa Utara. Daerah tersebut masuk Kawasan Ekonomi Khusus Likupang, yang merupakan salah satu PSN pada Destinasi Super Prioritas pemerintah Indonesia, sama seperti di Danau Toba, Sumatera Utara, Borobudur di Jawa Tengah, Mandalika di Nusa Tenggara Barat, dan Labuhan Bajo di Nusa Tenggara Timur.
Baca juga:
Meneropong Kesejahteraan Masyarakat Desa dari Industri Pariwisata Likupang Timur
Gerbang Desa Wisata Pulisan | Asmara Dewo, Advokat Manado |
Perlu menjadi catatan penting adalah untuk menunjang destinasi wisata itu tentunya dibangunlah infrastruktur dan sumber daya. Tidak mungkin wisatawan asing dari Amerika, Eropa, Asia, naik kapal laut. Maka tak heran, pemerintah dengan perusahaan swasta membangun bandara bertaraf internasional, seperti YIA, Bandara Kualanamu, dan bandara lainnya di Indonesia.
Kemudian dari bandara menuju ke objek wisata tidak mungkin naik delman istimewa dan duduk di muka. Tetapi naik mobil melalui jalur cepat yang kemudian kita tahu, yaitu jalan tol.
Apakah wisatawan asing maupun domestik itu bawa bekal dari rumahnya. Kan, tidak?! Mereka tentu makan di resto dan kadang harus memenuhi kriteria khusus. Nah, maka tak heran pula kita melihat restoran-restoran mewah dan mahal berdiri. Kita yang kere ini tentunya hanya bisa menelan ludah sendiri.
Selanjutnya, apakah para wisatawan tadi bawa tenda lalu camping di tepi wisata, seperti kawan-kawan yang hobi bertualang, berbekal tenda sudah nyenyak tidur di puncak gunung, di tengah rimba, atau di tepi pantai. Kan tidak begitu! Mereka tidur di hotel berbintang, yang bintanya sama seperti bintang jenderal.
Nah, untuk mengaktifkan semua layanan tersebut dibangunlah energi. Energi litrik di Indonesia masih jauhhhh sekali tertinggal dengan negara Eropa, negara luar sudah menciptakan energi terbarukan, seperti energi matahari dan energi angin. Indonesia masih menggunakan energi dari bahan batubara.
Pembangunan-pembangunan itu semua, seperti bandara, jalan tol, hotel, dan lain-lainnya mengorbankan lahan pertanian. Lalu kita mengenal istilah alih fungsi lahan dan alih profesi. Apa itu alih fungsi lahan ada apa alih profesi? Dalam konteks ini sederhananya alih fungsi lahan adalah mengalihkan fungsi lahan pertanian untuk lahan pembangunan bandara, pembangunan tol, pembangunan hotel, pembangunan untuk PLTU.
Nah, alih profesi adalah beralih profesinya seorang petani menjadi pekerja di bagian-bagian destinasi wisata, seperti tukang parkir, security, tukang kebersihan, juru parkir, dan lain-lain. Mereka yang biasa hidup mandiri dari hasil panen yang melimpah ruah menjadi pekerja yang rentan dipecat dan dieksploitasi oleh perusahaan.
Alih Profesi | Asmara Dewo, Advokat Manado |
Permasalahannya tidak sampai di situ saja, kita bisa bayangkan seorang paruh baya, yang sejak kecil bergelut di pematang sawah secara tidak langsung dipaksa bekerja di perusahaan, yang bukan passion dan minatnya. Bahkan tak jarang pula perusahaan meminta syarat normatif seperti ijazah.
Padahal si bapak tadi selama hidup bertani tidak menggunakan ijazah, karena memang pendidikan rendah.
Kenapa mereka mau melakukannya? Lagi-lagi karena keadaan yang memaksa. Mereka sudah tidak punya lahan untuk digarap lagi.
Penulis: Asmara Dewo (Konsultan Hukum)
Posting Komentar untuk " Hari Tani Nasional 2022 (Masih Perampasan Lahan Pertanian)"